Cari Blog Ini

Rabu, 20 Februari 2019

Gelembung- Gelembung Doa- Skenario Film Pendek karya Philipus Maliobowo



Film Pendek
                
“gelembung- gelembung doa”
Skenario oleh  : Philipus Maliobowo

Sinopsis

ELANG seorang pengemis kere  yang Buta.  Satu- satunya keinginan terbesarnya sebelum mati adalah bisa melihat indahnya dunia.
Ia rela melakukan apapun, meskipun itu hal yang sangat tidak mungkin sekalipun, yaitu menabung dari hasilnya mengemis, untuk mengobati matanya.

WENING sahabat sehidup semati Elang sempat menanyakan biaya operasi disebuah rumah sakit mata. Butuh biaya paling sedikit 50 juta.  Jika dihitung secara matematis, jika satu hari Elang bisa menabung 5000 saja dari hasilnya mengemis, maka ia membutuhkan waktu 10.000 hari untuk mengupulkan uang 50 juta.
Jika 1 tahun sama dengan 360 hari, Maka butuh waktu 27,7 tahun untuk mengumpulkan uang sebanyak 50 Juta.
Hmm.. waktu yang sangat panjang..

Wening sudah bosan menasehati Elang untuk tidak terlalu banyak berharap. Bukankah kita harus mensyukuri apapun yang kita miliki. Meskipun kita cuma kere yang terlunta- lunta.
Meski mata Elang buta, tapi hati nya tidak buta.
Elang sering membantu orang lain. Ia rela menyisihkan uang tabungannya untuk keperluan orang lain yang lebih mendesak, meskipun konsekwensinya jangka waktu dirinya menabung maki lama, tapi ia ikhlas menjalani semuanya.

Beberapa hari ini Wening sering menceritakan tentang indahnya Jogja dimalam hari jika dilihat dari atas Taman sari dekat tempatnya sering mengemis. Bintang- bintang yang bertaburan juga lampu- lampu merkuri yang menghiasi jalan- jalan kota Jogja.
Hal ini yang membuat Elang kemudian semakin semangat, ia ingin sekali melihat apa yang diceritakan Wening padanya.
Sekarang Elang lebih menghemat uangnya lagi, seminggu ini ia bahkan hanya makan satu kali sehari, dengan harapan bisa menyisahakan uang lebih banyak untuk menabung.

Makin lama badan Elang makin lemas, karena tak terisi makanan.
Elang siap menjemput ajal, Elang meregang nyawa, lewat gelembung- gelembung doa orang- orang yang pernah ditolongnya, Tuhan menjawab keinginannya.
Elang bisa melihat indahnya Jogja dimalam hari. Ia kemudian mati dengan tersenyum bahagia.


FADE IN

01.         EXT.PLENGKUNG GADING SIANG

Lampu hijau traficlight Plengkung Gading berganti menjadi warna merah. Kendaraan kemudian berhenti.
Terlihat orang- orang yang menunggu dikendaraan masing- masing, baik roda empat, dua juga tiga. Sesekali mereka melihat kearah traficlight, menunggu kalau- kalau lampu telah hijau.

Lampu berganti hijau kendaraan mulai bergerak.
Lampu kembali merah lagi. Kendaraan berhenti.
Kemudian lampu berganti terus- menerus hingga hari berlalu berganti malam

02.         EXT.PLENGKUNG GADING MALAM

Traficlight tetap ditempatnya semula, perlahan- lahan pandangan melebar, terlihat hari sudah malam.
Diatas Plengkung Gading terlihat Elang dan Wening sedang memandangi sekitar.
Terlihat pemandangan yang eksotis dari tempat mereka berdiri, lampu- lampu merkuri, bintang yang gemerlapan, alun- alun diwaktu malam juga keindahan eksotis lainnya.
Senyum Elang mengembang. Ia nikmati betul apa yang dilihatnya, ia hirup udara malam yang segar. Sesekali rambutnya tergerai angin

ELANG :
Sekarang aku bisa merasakan keindahan yang sering kau ucapakan. Ya aku melihatnya…

Wening diam seribu bahasa, seolah ia tak merasakan kehadiran Elang disana.
Elang Bergegas turun.

ELANG :
Besok pagi aku mesti dapat uang lebih banyak.

Elang bergegas turun, ia berjalan menuruni tangga. Sampai dibawah, ia hentikan langkahnya, lalu lemparkan senyum sebentar pada Wening, kini terlihat Wening yang masih berdiri diatas Plengkung Gading.
Elang meneruskan langkahnya melintasi kendaraan- kendaraan yang lalu lalang. kemudian pandangan berganti mengikuti sebuah kendaraan yang baru saja berpapasan dengan Elang. Pandangan lebar kembali, kini terlihat Wening sudah membalikkan badannya duduk diatas Plengkung Gading.
Terlihat ia menangis. Perlahan lahan ia duduk bersimpuh, dari wajahnya terpancar perasaan yang terpendam begitu dalam. Tangisnya bahkan hampir tak terdengar hanya air mata yang berlinang menetes di sela-sela pipi yang dekil.
Didekat kakinya Nampak sebuah kaki, hanya terlihat sepintas saja dan tidak mencuri focus.

DISSOLVE TO

03.         EXT.PLENGKUNG GADING SIANG

Posisi duduk Wening masih sama dengan scene sebelumnya. Hanya kakinya disebelahnya saja yang tak nampak.
Wajahnya kini tersenyum sinis, badannya bersender santai pada dinding tembok Plengkung gading.

WENING :
Sampai kapan kamu mau nyelengi
seket yuta itu banyak lho

Sambil memasukkan uang recehan ke dalam toples Elang berucap ringan tanpa beban, seperti ia sudah sering sekali mengucapkan kata- kata itu.

ELANG :
kemarin sudah kamu hitung sendiri to, skeet Yuta diporo limang ngewu.. 10 ewu dina

ELANG dan WENING :
Kalau 1 tahun ada 360 hari, 10000 hari dibagi 360 hari. Jadi 27,7 tahun…

Elang memasukkan recehan terakhir kedalam toples yang sudah seperempat penuhnya.

 ELANG :
27,7 tahun lagi.
Pokoke, aku wes mantep..

Wening menggeleng- gelengkan kepalanya. Kemudian tertawa sendiri, menertawai sikap Elang.

Perlahan- lahan Wening berdiri, dibelakang badannya terlihat keramaian Plengkung gading, dengan kendaraan yang lalu –lalang. Terlihat Elang sudah ada disana, mengemis.
Kini pandangan berpindah pada Elang yang sedang mengemis.
Tak lama kemudian Wening muncul mendekati dirinya. Menemaninya mengemis.

(atau Wening menunduk, pandangan fokus pada Elang yang sedang mengemis, tak lama muncul Wening kembali, kamera mengikuti pergerakan Wening yang berlari menuju Elang.

DISSOLVE TO
 
04.         EXT.PLENGKUNG GADING – TROTOAR PENJUAL BAJU BEKLAS SIANG

Para penjual barang- barang bekas nampak ramai dengan pengunjungnya. Disalah satu sudut terlihat Elang memberikan sebotol uang recehannya yang belum penuh pada seorang penjual baju bekas yang sudah renta.
Ibu penjual baju bekas tersenyum haru.
Wening menuntun Tubi meninggal kan ibu penjual.

WENING :
           Matamu piye..

ELANG :
Saiki, Mbokde Wiji luwih mbutuhke tinimbang aku..

WENING :
Njur matamu..??
Operasi..??
Lang… Elang…

Wening mengejar Elang yang berjalan meninggalkan dirinya yang masih terbengong.

CUT TO

05.         MONTAGE

Pada scene ini menceritakan transisi Elang dengan aktivitas kesehariannya, mengemis, menabung, dan seseklai memberikan uang tabungannya kepada orang yang lebih membutuhkan.
Kemudian menabung, mengemis dan kembali kerutinitas nya sehari- hari. Stok shot dirangkai dengan cutting yang dinamis (Montage)sesuai alur yang dramatis.

STOK SHOT :
-   Elang mengemis ( minim 10 stok - variatif)
-   Elang dan Wening mengemis ( minim 10 stok - variatif)
-   Elang memberika uang pada orang lain( minim 10 stok variatif )
-   Elang sedang nyelengi, juga celengannya (minim 10 stok
  variatif)
-   Kaki- kaki yang menyeberang Zebra Crozz ( minim 10 stok 
  variatif)

Jika dimungkinkan gambar terakhir memperlihatkan Elang, saat ia memasukkan uang lagi alias nyelengi.

CUT TO

06.         EXT.PLENGKUNG GADING ATAS SIANG

Terlihat Elang memasukkan uangnya pada toples.   
Wajahnya nampak Pucat.

WENING :
Wes rong dino iki kowe nyelengi luwih akeh ketimbang biasane.
Kamu pasti cuma makan sekali ya…

ELANG :
Aku pengen cepat- cepat iso ndelok lampu- lampu merkuri, pemandangan jogja wayah wengi sing koyo mbok ceritake kae lho..

                   WENING :
Elang, usaha kui oleh wae, nangin awake dhewe yo kudhu bersyukur. Terima wae nasib awake dhewe, awkake dhewe iki gur kere sing urip seko ngemis.

ELang terbatuk kini wajahnya yang kuyu dan pucat makin jelas terlihat.

                    ELANG :
Tapi kamu tidak buta kan..

Elang menggigil kedinginan, badannya meringkuk

CUT TO

07.         MONTAGE

Pada scene ini menjelaskan tentang Elang yang bekerja makin keras dan makan hanya sekali supaya uang yang ditabungnya lebih banyak.
Stok shot dirangkai dengan cutting yang dinamis.

STOK SHOT
-   Pagi hari Wening makan.
-   Elang hanya duduk didekatnya, sambil meneguk air putih
-   Wening dan Elang Ngemis, Elang sudah terlihat lemas (minim 10 stok, variatif) diperlihatkan makin lama Elang makin sempoyongan
-   Siang hari Wening makan
-   Elang tak makan, Wening menawari makan. Elang tak mau..

                    WENING :
       Kamu tidak bisa terus- terusan begini, kamu mesti makan

Elang menggeleng.

                    WENING :
Yen kowe terus- terusan koyo ngene, iso loro. Bisa- bisa kowe ra biso wujudke kekarepanmu.

Trus piye le mu nyelengi..

Elang cuek bebek, Wening gemas dengan sikap ELang, ia segera mengambil uang. Dan beranjak untuk pergi, baru beberapa langkah, Elang memanggilnya.

                    ELANG :
           Stop.. !! stop..!!
           Opo to untunge kowe ngurusi urusane wong liyo..

          WENING :
           Koe kudhu mangan Lang..
           Koe iso.. iso..

                    ELANG :
Iso opo ?
Aku durung ngeleh,..

          WENING :
           Pokoke kowe kudu mangan..
           Aku ra pengen koe..aku ra pengen ono opo- oo karo koe

                                                 Elang :
           oo.. aku ngerti saiki, koe sengojo to..
           ra pengen aku iso ndelok meneh..
           koe mesti iri karo aku..
           yen aku iso ndelok..

Belum selesai Elang berbicara, ia sempoyongan dan Jatuh.
Wening berlari menghampiri.

CUT TO
 
08.         EXT.PLENGKUNG GADING SIANG

Mereka ngemis lagi.
terlihat tapi tidak mencuri focus, anak kecil yang sedang meniup busa sabun diatas motor
ELang menjaga jarak dengan Wening..
Wening hanya bisa mengamati dari kejauhan.
Tiba- tiba Tubuh Elang nkin sempoyongan.
Kemudian ia terhuyung- huyung jatuh..
Lampu hijau berganti dari merah
Wening berteriak.. histeris..

DISOLLVE TO

09.         EXT.PLENGKUNG GADING ATAS SIANG

Elang tergeletak di jalan
Music syahdu, kematian

               Vo : Tuhan aku ingin sekali melihat.

Terlihat busa- busa sabun mendekati Elang, kemudian meletus satu persatu dan mengeluarkan doa- doa orang yang pernah ditolong Elang..
suara makin lama makin banyak dan makin krodit.

DISSOLVE TO

10.         EXT.PLENGKUNG GADING ATAS SIANG

Kembali ke scene yang awal scen 02.
Saat Wening menangis pandangan kemudian bergerak kekaki. Melebar, kini terlihat kalau kaki itu kaki Elang yang terbujur kaku didekat Wening.
Kemudian gambar ditutup dengan kamera yang padat kembali pada wajah Elang dan habis.
 
FADE OUT

Yogyakarta menjelang 2010


Selasa, 19 Februari 2019

Film Menunggu Gerbong Kelas Tiga - Adaptasi Dari Cerpen Mata yang Enak Dipandang Karya Ahmad Tohari

Menunggu Gerbong Kelas 3


 Film Menunggu Gerbong Kelas Tiga merupakan Film Pendek yang di adaptasi dari cerpen Ahmad Tohari yang berjudul Mata yang Enak Dipandang. Film ini disutradarai oleh Philipus Maliobowo, dengan DOP Wisnu Wijaya, didukung oleh Nurul Hadi Koclok sebagai Kang Mirta dan Megatruh Banyumili sebagai Tarsa. Film ini diproduksi pada tahun 2010 di Yogyakarta dengan lokasi Stasiun Lempuyangan dan sekitarnya, 
Fenomena mengadaptasi cerita pendek menjadi film merupakan sebuah langkah alternative yang dilakukan oleh sineas- sineas Indonesia. Filosofi Kopi (2015), Rectoverso (2013), 5 cm (2012), Cinta Tapi Beda (2012) merupakan film-film yang menggunakan cerpen sebagai dasar ceritanya. Meskipun tidak sepopuler novel yang telah memiliki sejarah panjang dalam hal adaptasi, banyak juga cerpen-cerpen yang ceritanya menarik dan sangat mungkin untuk difilmkan (filmis).  
Adaptasi adalah suatu usaha untuk membuat sebuah hasil karya baru dari sumber yang lainnya atau dari satu media ke media yang lain dengan mempertahankan atau melakukan variasi pada lakuan, tokoh serta gaya dan nada aslinya. Tujuan adaptasi bukanlah untuk mempertahankan sebanyak mungkin kemiripan dengan cerita aslinya, melainkan untuk membuat pilihan terbaik dari materi yang ada untuk menghasilkan skenario sebaik mungkin.Inti dari adaptasi adalah perubahan bentuk, tidak hanya terbatas pada setting, penokohan, alur tapi bisa apapun. Eneste memberika istilah perubahan bentuk dari novel ke film dengan istilah Ekranisasi.Ekranisasi adalah pelayar putihan atau pemindahan/pengangkatan sebuah novel kedalam film (ecran dalam bahasa Perancis berarti layar). Pemindahan novel kelayar putih mau tidak mau mengakibatkan timbulnya pelbagai perubahan, oleh Karena itu dapat dikatakan ekranisasi adalah sebuah perubahan.Transformasi merupakan perubahan bentuk, rupa dan sifat suatu karya/benda. Adaptasi, Ekranisasi dan Transformasi memiliki pengertian yang sama yaitu perubahan bentuk.
Cerpen Mata Yang Enak Dipandang menarik untuk diwujudkan secara visual (filmis), banyak sekali sudut-sudut yang artistik dan indah yang bisa dieksplorasi lebih jauh. Tema cerpen ini masih kontekstual. Tema sosial dan cerita pada cerpen ini sangat relevan dengan gerakan (isme) neorealisme yang muncul dan berkembang di Italia pada tahun 1942-1945. Kemunculan gerakan neorealisme di Italia pada masa itu, memiliki kesamaan dengan kondisi Indonesia pada masa- masa sekarang. Hal itu terlihat dengan hadirnya karya-karya Film Indonesia yang  merepresentasikan kehidupan masyarakat kelas atas yang serba glamour, mewah, indah dan instan. Padahal realitasnya masih banyak masyarakat Indonesia yang hidup di garis kemiskinan.

Film-film yang mengangkat realitas sosial dimasyarakat khususnya masyarakat menengah kebawah (marjinal) belum banyak dimunculkan di Indonesia. Butuh keberanian dan pertimbangan yang lebih, karena film-film seperti itu kurang laku dipasaran, sehingga banyak produser film yang tidak mau membiayai karena lebih mempertimbangkan faktor industrialisasi yang mementingkan profit /keuntungan. Mungkin sutradara dan produser yang idealis yang tidak mementingkan hal yang bersifat industrialisasi yang berani untuk melakukannya. Misalnya Garin Nugroho (sutradara) yang membuat film Daun diatas Bantal (1998) yang menceritakan kehidupan anak jalanan di Yogyakarta dan Ifa Ifansyah (Produser) dan Edy Cahyono (sutradara) yang baru-baru ini membuat film Siti (2015). Film Siti  yang menceritakan kehidupan masyarakat (perempuan) pesisir pantai Parangtritis di Yogyakarta. Meskipun kurang mendapat respon yang baik di Indonesia Daun Diatas Bantal dan Siti justru mendapat penghargaan dan apresiasi di luar negri. 

         Film pendek ini berdurasi sekitar 18 menit, menceritakan tentang kisah dua orang pengemis yang mengais rejeki di kereta api, yaitu Mirta seorang laki-laki tua yang buta, dan Tarsa seorang anak laki-laki yang selalu menuntun Mirta ketika mengemis. Sebagai pengemis yang telah berpengalaman, Mirta mengerti bahwa orang yang suka memberi sedekah memiliki pandangan mata yang berbeda. Meskipun film ini menggunakan pendekatan neorealisme Italia, film ini bukan lantas bisa dikatakan sebagai film neorealisme, hal ini karena film ini tidak diciptakan pada masa-masa kemunculan neorealisme di Italia, bahkan tidak semua ciri khas film neorealisme dapat diaplikasikan.
beberapa ciri film Neorealisme yang nampak pada film Menunggu Gerbong Kelas 3 yaitu, 
1. Tema
Tema film neorealisme umumnya mengangkat tema (sosial) kemiskinan dan ketidakadilan. Pada Film Menunggu Gerbong Kelas Tiga Tema yang diangkat juga merupakan Kemiskinan, ketidakadilan hal tersebut tercermin dari cerita yang diangkat, yaitu dua orang pengemis Mirta dan Tarsa yang hidup dari mengemis di staiun dan dikereta api.
2. Penokohan
Karakter dan tokoh film neorealisme biasanya berasal dari kalangan bawah, pada film Menunggu Gerbong Kelas Tiga  tokohnya sangat jelas dari kalangan bawah, pengemis kereta api, yang menggelandang, hidupnya tergantung dari belas kasihan orang.
3. Pemain (aktor/aktris)
Penggunaan pemain pada film neorealisme mengunakan aktor/artis non Profesional seperti halnya film-film lain yang memperhitungkan pemain (aktor/aktris) sebagai daya pikat film tersebut. Penggunaaan pemain aktor/aktris  non Profesional bahkan pelaku cerita yang mengalaminya langsung mampu memperbesar efek realisme serta orisinalitas tiap adegannya. Pada film Menunggu Gerbong Kelas Tiga  juga tidak  mengunakan aktor/aktris non professional, sayangnya sampai batas waktu yang ditentukan sutradara dan tim tidak bisa mendapatkan pemain yang benar-benar merupakan pelaku (pengemis). Hal ini disiati dengan cara melakukan pendalaman peran dengan melakukan aktifitas mengemis sebelum Shoting dilakukan. Penerjunan pemain langsung ke lokasi dan mencoba menjadi pelaku dirasa menjadi lebih efektif, dalam rangka pendalaman peran tokoh-tokohnya.


4. Seting dan Dubbing
Secara estetik film-film neorealisme memiliki ciri-ciri unik yakni melakukan syuting di lokasi sesungguhnya seperti di jalanan kota atau desa, pemukiman, pasar serta ruang-ruang publik lainnya. Film Menunggu Gerbong Kelas Tiga   ini juga  mengambil seting/lokasi di Kereta,  Stasiun dan sekitar stasiun kereta yang merupakan lokasi sesungguhnya.
 Stasiun yang merupakan fasilitas umum, membuat pergerakan dalam pengambilan gambar/shoting menjadi terbatas. Tidak mungkin menyewa stasiun dan kereta api bahkan mengkondisikannya sesuai arahan sutradara. Inilah kelebihan neorealisme. Hal ini menjadi tantangan sendiri dalam pencapaian artistik, diperlukan kepekaan dalam melihat moment, berbaur dengan masyarakat dan lingkungan ketika mengintruksikan pemaian.
Kroditnya lokasi yang dipilih membuat penggambaran semakin real. Teknik Dubing yang juga menjadi ciri film neorealisme menjadi solusi. Pergerakan pemain dan kamera menjadi lebih leluasa. Sayangnya teknik dubbing ini tidak bisa dilakukan karena waktu dan pembiayaan yang sangat terbatas. Solusi yang dilakukan yaitu meminimalisir noise audio pada proses editing. Hasilnya cukup teratasi, meskipun pada beberapa bagian  tidak dipungkiri masih ada noise suara yang terdengar.


5. Jalan Cerita
Tragedi selalu menjadi menu utama dalam film-film neorealisme. Umumnya film neorealisme memiliki akhir menggantung, tragis, penuh penyesalan dan ketidakbahagiaan. Hal ini sengaja dibuat untuk memperlihatkan realitas yang terjadi dimasyarakat. Pada film Menunggu Gerbong Kelas Tiga adegan akhir dibuat menggantung, tidak dijelaskan bagaimana kejadian yang akan dialami Mirta ketika mengemis pada kereta kelas utama, meskipun penonton mungkin sudah bisa menebak. Tarsa yang tergeletak tidak berdaya tidak dijelaskan apakah sedang sekarat, meninggal atau cuma tertidur, meskipun setelah itu diperlihatkan gambar-gambar  yang menjelaskan Mirta pergi dengan kereta kelas tiga  dengan mata yang tidak buta, dan dimunculkan pula memori-memori ketika Mirta dan Tarsa bersama.
6. Konsep  dan teknis Penyutradaraan
Secara umum film-film neorealisme bentuknya sangat sederhana dan jarang sekali menggunakan efek kamera, pengambilan gambarnya  menggunakan teknik long take (no cutting) dimana tidak ada jeda pada beberapa shot bahkan scene, meskipun terkesan lambat teknik ini memberikan kesan natural. Dengan teknik long take ini dibutuhkan konsep bloking, sinematografi dan keaktoran yang kuat. Pada film Menunggu Gerbong Kelas Tiga tidak dimunculkan efek –efek kamera, pada beberapa scene digunakan pula teknik long take misalanya pada scene yang menceritakan Mirta menarik-narik tangan Tarsa supaya mau membelikan Lopis, juga pada adegan Tarsa kepanasan karena dijemur Mirta.
Kesimpulan 
Adapatasi merupakan sebuah langkah yang bisa dikatakan mudah, akan tetapi bisa juga sebaliknya. Hal ini disebabkan karena proses adapatasi haruslah memiliki nilai yang lebih dari sumbernya. Adaptasi bukan hanya soal pemotongan, penggabungan, dan penciptaan atau bagaimana mempertahankan sebanyak mungkin kemiripan dengan cerita asli, melainkan bagaimana membuat pilihan terbaik  dari materi yang ada sehingga dihasilkan skenario yang baik.
Komunikasi dengan penulis cerpen untuk memohon ijin ataupun mengkorfirmasi bahwa karya mereka akan diadaptasi menjadi obyek penciptaan film adalah cara yang santun, Pada akhirnya hasil Film ini diwujudkan sebagai salah satu upaya untuk mencari alternative dalam mencari ide dalam penciptaan sebuah film. 

(Sumber : Cuplikan  Laporan Penelitian Philipus Nugroho Hari Wibowo berjudul -Cerpen Mata Yang Enak Dipandang Karya Ahmad Tohari Sebagai Inspirasi Penciptaan Film Pendekatan Semangat Neorealisme Italia- 2016)


Daftar  Pustaka

Ahmad Tohari, Kumpulan cerpen Nyayian Malam, Jakarta : Grasindo :2000
Ayawalia, Gerzon, Dokumenter dari Ide sampai Produksi,Jakarta : FFTJ – IKJ PRESS,2008
Badan Pengembangan SDM Citra, Kamus Kecil Istilah Film : JakartaYayasan Pusat Perfilman Perfilam Usmar Ismail 2005
David Howard and Edward Mabley, The Tools Of  Screenwritung: A Writer’sGuide To The Craft and Elements of  
         a Screenplay,New York : St. Martin’s Press, 1995
Eneste, Pamusuk, Novel dan Film. Ende : Nusa Indah, 1991
James Monaco (terjemahan Asrul Sani), Cara Menghayati Sebuah Film, Jakarta : Yayasan Citra : 1984

John Truby, The Anatomy Of Story: 22 Step To Becoming A Master Storyteller, New York : Faber and Faber, Inc, 2008
Joseph M Boggs, Cara Menilai Sebuah Film(terjemahan Asrul Sani), Jakarta: Yayasan Citra : 1992
Jule Selbo, Gardner’s Guide to Screenplay  From Idea to Successful Script: The Eleven step Story Structure,WashingtonDC: 
           Gart Gardner  Company, 2007

Krevolin Richars, Rahasia Sukses Skenario Film- Film Box Offiice, 5 Langkah Jitu Mengadaptasi Apapun Menjadi Skenario
           Jempolan, Bandung : Mizan Media Utama, 2003
Prastista,  Himawan, Memahami Film, Yogyakarta, Homerian Pustaka, 2008
Seno Gumiro Aji Darma, Layar Kata:Menengok 20 Skenario Indonesia Pemenang Citra Festival Film Indonesia 1973-1992 
         Yogyakarta : Yayasan Bentang Budaya, 2000

Wibowo, Philipus Nugroho, 2012, Thesis Ande- Ande Lumut Adaptasi Folklore Kepertunjukan Teater Epik, Yogyakarta
          Institut Seni Indonesia Yogyakarta