Film Menunggu Gerbong Kelas Tiga merupakan Film Pendek yang
di adaptasi dari cerpen Ahmad Tohari yang berjudul Mata yang Enak Dipandang.
Film ini disutradarai oleh Philipus Maliobowo, dengan DOP Wisnu Wijaya,
didukung oleh Nurul Hadi Koclok sebagai Kang Mirta dan Megatruh Banyumili
sebagai Tarsa. Film ini diproduksi pada tahun 2010 di Yogyakarta dengan lokasi
Stasiun Lempuyangan dan sekitarnya,
Fenomena mengadaptasi
cerita pendek menjadi film merupakan sebuah langkah alternative yang dilakukan
oleh sineas- sineas Indonesia. Filosofi
Kopi (2015), Rectoverso (2013), 5 cm (2012), Cinta Tapi Beda (2012) merupakan film-film yang menggunakan cerpen
sebagai dasar ceritanya. Meskipun tidak sepopuler novel yang telah memiliki
sejarah panjang dalam hal adaptasi, banyak juga cerpen-cerpen yang ceritanya
menarik dan sangat mungkin untuk difilmkan (filmis).
Adaptasi adalah suatu usaha untuk membuat
sebuah hasil karya baru dari sumber yang lainnya atau dari satu media ke media
yang lain dengan mempertahankan atau melakukan variasi pada lakuan, tokoh serta
gaya dan nada aslinya. Tujuan adaptasi bukanlah untuk mempertahankan sebanyak
mungkin kemiripan dengan cerita aslinya, melainkan untuk membuat pilihan
terbaik dari materi yang ada untuk menghasilkan skenario sebaik mungkin.Inti
dari adaptasi adalah perubahan bentuk, tidak hanya terbatas pada setting, penokohan,
alur tapi bisa apapun. Eneste memberika istilah perubahan bentuk dari
novel ke film dengan istilah Ekranisasi.Ekranisasi adalah pelayar putihan atau
pemindahan/pengangkatan sebuah novel kedalam film (ecran dalam bahasa Perancis berarti layar). Pemindahan novel
kelayar putih mau tidak mau mengakibatkan timbulnya pelbagai perubahan, oleh
Karena itu dapat dikatakan ekranisasi adalah sebuah perubahan.Transformasi merupakan perubahan bentuk, rupa dan sifat suatu karya/benda.
Adaptasi, Ekranisasi dan Transformasi memiliki pengertian yang sama yaitu
perubahan bentuk.
Cerpen Mata Yang Enak Dipandang menarik untuk diwujudkan secara visual (filmis), banyak sekali sudut-sudut
yang artistik dan indah yang bisa dieksplorasi lebih jauh. Tema cerpen ini masih kontekstual. Tema sosial dan cerita pada cerpen ini sangat relevan dengan gerakan (isme) neorealisme
yang muncul dan berkembang di Italia pada tahun 1942-1945. Kemunculan gerakan neorealisme di Italia pada masa itu,
memiliki kesamaan dengan kondisi Indonesia pada masa- masa sekarang. Hal itu
terlihat dengan hadirnya karya-karya Film Indonesia yang merepresentasikan kehidupan masyarakat kelas
atas yang serba glamour, mewah, indah dan instan. Padahal realitasnya masih banyak
masyarakat Indonesia yang hidup di garis kemiskinan.
Film-film yang
mengangkat realitas sosial dimasyarakat khususnya masyarakat menengah kebawah
(marjinal) belum banyak dimunculkan di Indonesia. Butuh keberanian dan
pertimbangan yang lebih, karena film-film seperti itu kurang laku dipasaran,
sehingga banyak produser film yang tidak mau membiayai karena lebih
mempertimbangkan faktor industrialisasi yang mementingkan profit /keuntungan.
Mungkin sutradara dan produser yang idealis yang tidak mementingkan hal yang
bersifat industrialisasi yang berani untuk melakukannya. Misalnya Garin Nugroho
(sutradara) yang membuat film Daun diatas
Bantal (1998) yang menceritakan kehidupan anak jalanan di Yogyakarta dan
Ifa Ifansyah (Produser) dan Edy Cahyono (sutradara) yang baru-baru ini membuat
film Siti (2015). Film Siti yang menceritakan kehidupan masyarakat
(perempuan) pesisir pantai Parangtritis di Yogyakarta. Meskipun kurang mendapat
respon yang baik di Indonesia Daun Diatas
Bantal dan Siti justru mendapat
penghargaan dan apresiasi di luar negri.
Film pendek
ini berdurasi sekitar 18 menit, menceritakan
tentang kisah dua orang pengemis yang mengais rejeki di kereta api, yaitu Mirta
seorang laki-laki tua yang buta, dan Tarsa seorang anak laki-laki yang selalu
menuntun Mirta ketika mengemis. Sebagai pengemis yang telah berpengalaman,
Mirta mengerti bahwa orang yang suka memberi sedekah memiliki pandangan mata
yang berbeda. Meskipun film ini menggunakan pendekatan neorealisme
Italia, film ini bukan lantas bisa dikatakan sebagai film neorealisme, hal ini karena film ini tidak diciptakan pada masa-masa kemunculan neorealisme di Italia, bahkan tidak
semua ciri khas film neorealisme
dapat diaplikasikan.
beberapa ciri film Neorealisme yang nampak pada film Menunggu Gerbong Kelas 3 yaitu,
1.
Tema
Tema film neorealisme umumnya mengangkat tema (sosial)
kemiskinan dan ketidakadilan. Pada Film “Menunggu Gerbong Kelas
Tiga”
Tema yang diangkat juga merupakan Kemiskinan, ketidakadilan hal tersebut
tercermin dari cerita yang diangkat, yaitu dua orang pengemis Mirta dan Tarsa
yang hidup dari mengemis di staiun dan dikereta api.
2.
Penokohan
Karakter dan tokoh film
neorealisme biasanya berasal dari
kalangan bawah, pada film “Menunggu Gerbong Kelas Tiga”
tokohnya sangat jelas dari kalangan bawah, pengemis kereta api, yang menggelandang,
hidupnya tergantung dari belas kasihan orang.
3.
Pemain (aktor/aktris)
Penggunaan pemain pada
film neorealisme mengunakan aktor/artis
non Profesional seperti halnya film-film lain yang memperhitungkan pemain
(aktor/aktris) sebagai daya pikat film tersebut. Penggunaaan pemain aktor/aktris
non Profesional bahkan pelaku cerita
yang mengalaminya langsung mampu memperbesar efek realisme serta orisinalitas tiap
adegannya. Pada film “Menunggu Gerbong Kelas Tiga” juga
tidak mengunakan aktor/aktris non
professional, sayangnya sampai batas waktu yang ditentukan sutradara dan tim
tidak bisa mendapatkan pemain yang benar-benar merupakan pelaku (pengemis). Hal
ini disiati dengan cara melakukan pendalaman peran dengan melakukan aktifitas
mengemis sebelum Shoting dilakukan. Penerjunan pemain langsung ke lokasi dan
mencoba menjadi pelaku dirasa menjadi lebih efektif, dalam rangka pendalaman
peran tokoh-tokohnya.
4. Seting dan
Dubbing
Secara estetik
film-film neorealisme memiliki
ciri-ciri unik yakni melakukan syuting di lokasi sesungguhnya seperti di
jalanan kota atau desa, pemukiman, pasar serta ruang-ruang publik lainnya. Film
“Menunggu
Gerbong Kelas Tiga” ini
juga mengambil seting/lokasi di Kereta, Stasiun dan sekitar stasiun kereta yang
merupakan lokasi sesungguhnya.
Stasiun yang merupakan fasilitas umum, membuat
pergerakan dalam pengambilan gambar/shoting menjadi terbatas. Tidak mungkin
menyewa stasiun dan kereta api bahkan mengkondisikannya sesuai arahan
sutradara. Inilah kelebihan neorealisme.
Hal ini menjadi tantangan sendiri dalam pencapaian artistik, diperlukan
kepekaan dalam melihat moment, berbaur dengan masyarakat dan lingkungan ketika
mengintruksikan pemaian.
Kroditnya lokasi yang
dipilih membuat penggambaran semakin real. Teknik Dubing yang juga menjadi ciri
film neorealisme menjadi solusi. Pergerakan
pemain dan kamera menjadi lebih leluasa. Sayangnya teknik dubbing ini tidak
bisa dilakukan karena waktu dan pembiayaan yang sangat terbatas. Solusi yang
dilakukan yaitu meminimalisir noise
audio pada proses editing. Hasilnya cukup teratasi, meskipun pada beberapa
bagian tidak dipungkiri masih ada noise
suara yang terdengar.
5.
Jalan Cerita
Tragedi selalu menjadi
menu utama dalam film-film neorealisme.
Umumnya film neorealisme memiliki
akhir menggantung, tragis, penuh penyesalan dan ketidakbahagiaan. Hal ini
sengaja dibuat untuk memperlihatkan realitas yang terjadi dimasyarakat. Pada
film “Menunggu
Gerbong Kelas Tiga”
adegan
akhir dibuat menggantung, tidak dijelaskan bagaimana kejadian yang akan dialami
Mirta ketika mengemis pada kereta kelas utama, meskipun penonton mungkin sudah
bisa menebak. Tarsa yang tergeletak tidak berdaya tidak dijelaskan apakah
sedang sekarat, meninggal atau cuma tertidur, meskipun setelah itu diperlihatkan
gambar-gambar yang menjelaskan Mirta
pergi dengan kereta kelas tiga dengan
mata yang tidak buta, dan dimunculkan pula memori-memori ketika Mirta dan Tarsa
bersama.
6.
Konsep dan teknis Penyutradaraan
Secara umum film-film neorealisme bentuknya sangat sederhana
dan jarang sekali menggunakan efek kamera, pengambilan gambarnya menggunakan teknik long take (no cutting)
dimana tidak ada jeda pada beberapa shot bahkan scene, meskipun terkesan lambat
teknik ini memberikan kesan natural. Dengan teknik long take ini dibutuhkan konsep bloking, sinematografi dan
keaktoran yang kuat. Pada film “Menunggu Gerbong Kelas Tiga” tidak dimunculkan efek –efek kamera,
pada beberapa scene digunakan pula teknik long
take misalanya pada scene yang menceritakan Mirta menarik-narik tangan
Tarsa supaya mau membelikan Lopis, juga pada adegan Tarsa kepanasan karena
dijemur Mirta.
Kesimpulan
Adapatasi merupakan sebuah langkah yang bisa dikatakan mudah, akan
tetapi bisa juga sebaliknya. Hal ini disebabkan karena proses adapatasi
haruslah memiliki nilai yang lebih dari sumbernya. Adaptasi bukan hanya soal
pemotongan, penggabungan, dan penciptaan atau bagaimana mempertahankan sebanyak
mungkin kemiripan dengan cerita asli, melainkan bagaimana membuat pilihan
terbaik dari materi yang ada sehingga
dihasilkan skenario yang baik.
Komunikasi
dengan penulis cerpen untuk memohon ijin ataupun mengkorfirmasi bahwa karya
mereka akan diadaptasi menjadi obyek penciptaan film adalah cara yang santun, Pada akhirnya hasil Film ini diwujudkan sebagai salah satu upaya
untuk mencari alternative dalam mencari ide dalam penciptaan sebuah film.
Ahmad Tohari, Kumpulan cerpen Nyayian Malam, Jakarta : Grasindo :2000
Ayawalia, Gerzon, Dokumenter dari Ide sampai Produksi,Jakarta : FFTJ – IKJ PRESS,2008
Badan Pengembangan SDM Citra, Kamus Kecil Istilah Film : JakartaYayasan Pusat Perfilman Perfilam Usmar Ismail 2005
David Howard and Edward Mabley, The Tools Of Screenwritung: A Writer’sGuide To The Craft and Elements of
a Screenplay,New York : St. Martin’s Press, 1995
Eneste, Pamusuk, Novel dan Film. Ende : Nusa Indah, 1991
James Monaco (terjemahan Asrul Sani), Cara Menghayati Sebuah Film, Jakarta : Yayasan Citra : 1984
John Truby, The Anatomy Of Story: 22 Step To Becoming A Master Storyteller, New York : Faber and Faber, Inc, 2008
Joseph M Boggs, Cara Menilai Sebuah Film(terjemahan Asrul Sani), Jakarta: Yayasan Citra : 1992
Jule Selbo, Gardner’s Guide to Screenplay From Idea to Successful Script: The Eleven step Story Structure,WashingtonDC:
Gart Gardner Company, 2007
Krevolin Richars, Rahasia Sukses Skenario Film- Film Box Offiice, 5 Langkah Jitu Mengadaptasi Apapun Menjadi Skenario
Jempolan, Bandung : Mizan Media Utama, 2003
Prastista, Himawan, Memahami Film, Yogyakarta, Homerian Pustaka, 2008
Seno Gumiro Aji Darma, Layar Kata:Menengok 20 Skenario Indonesia Pemenang Citra Festival Film Indonesia 1973-1992
Yogyakarta : Yayasan Bentang Budaya, 2000
Wibowo, Philipus Nugroho, 2012, Thesis Ande- Ande Lumut Adaptasi Folklore Kepertunjukan Teater Epik, Yogyakarta
Institut Seni Indonesia Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar