Cari Blog Ini

Selasa, 19 Februari 2019

Film Menunggu Gerbong Kelas Tiga - Adaptasi Dari Cerpen Mata yang Enak Dipandang Karya Ahmad Tohari

Menunggu Gerbong Kelas 3


 Film Menunggu Gerbong Kelas Tiga merupakan Film Pendek yang di adaptasi dari cerpen Ahmad Tohari yang berjudul Mata yang Enak Dipandang. Film ini disutradarai oleh Philipus Maliobowo, dengan DOP Wisnu Wijaya, didukung oleh Nurul Hadi Koclok sebagai Kang Mirta dan Megatruh Banyumili sebagai Tarsa. Film ini diproduksi pada tahun 2010 di Yogyakarta dengan lokasi Stasiun Lempuyangan dan sekitarnya, 
Fenomena mengadaptasi cerita pendek menjadi film merupakan sebuah langkah alternative yang dilakukan oleh sineas- sineas Indonesia. Filosofi Kopi (2015), Rectoverso (2013), 5 cm (2012), Cinta Tapi Beda (2012) merupakan film-film yang menggunakan cerpen sebagai dasar ceritanya. Meskipun tidak sepopuler novel yang telah memiliki sejarah panjang dalam hal adaptasi, banyak juga cerpen-cerpen yang ceritanya menarik dan sangat mungkin untuk difilmkan (filmis).  
Adaptasi adalah suatu usaha untuk membuat sebuah hasil karya baru dari sumber yang lainnya atau dari satu media ke media yang lain dengan mempertahankan atau melakukan variasi pada lakuan, tokoh serta gaya dan nada aslinya. Tujuan adaptasi bukanlah untuk mempertahankan sebanyak mungkin kemiripan dengan cerita aslinya, melainkan untuk membuat pilihan terbaik dari materi yang ada untuk menghasilkan skenario sebaik mungkin.Inti dari adaptasi adalah perubahan bentuk, tidak hanya terbatas pada setting, penokohan, alur tapi bisa apapun. Eneste memberika istilah perubahan bentuk dari novel ke film dengan istilah Ekranisasi.Ekranisasi adalah pelayar putihan atau pemindahan/pengangkatan sebuah novel kedalam film (ecran dalam bahasa Perancis berarti layar). Pemindahan novel kelayar putih mau tidak mau mengakibatkan timbulnya pelbagai perubahan, oleh Karena itu dapat dikatakan ekranisasi adalah sebuah perubahan.Transformasi merupakan perubahan bentuk, rupa dan sifat suatu karya/benda. Adaptasi, Ekranisasi dan Transformasi memiliki pengertian yang sama yaitu perubahan bentuk.
Cerpen Mata Yang Enak Dipandang menarik untuk diwujudkan secara visual (filmis), banyak sekali sudut-sudut yang artistik dan indah yang bisa dieksplorasi lebih jauh. Tema cerpen ini masih kontekstual. Tema sosial dan cerita pada cerpen ini sangat relevan dengan gerakan (isme) neorealisme yang muncul dan berkembang di Italia pada tahun 1942-1945. Kemunculan gerakan neorealisme di Italia pada masa itu, memiliki kesamaan dengan kondisi Indonesia pada masa- masa sekarang. Hal itu terlihat dengan hadirnya karya-karya Film Indonesia yang  merepresentasikan kehidupan masyarakat kelas atas yang serba glamour, mewah, indah dan instan. Padahal realitasnya masih banyak masyarakat Indonesia yang hidup di garis kemiskinan.

Film-film yang mengangkat realitas sosial dimasyarakat khususnya masyarakat menengah kebawah (marjinal) belum banyak dimunculkan di Indonesia. Butuh keberanian dan pertimbangan yang lebih, karena film-film seperti itu kurang laku dipasaran, sehingga banyak produser film yang tidak mau membiayai karena lebih mempertimbangkan faktor industrialisasi yang mementingkan profit /keuntungan. Mungkin sutradara dan produser yang idealis yang tidak mementingkan hal yang bersifat industrialisasi yang berani untuk melakukannya. Misalnya Garin Nugroho (sutradara) yang membuat film Daun diatas Bantal (1998) yang menceritakan kehidupan anak jalanan di Yogyakarta dan Ifa Ifansyah (Produser) dan Edy Cahyono (sutradara) yang baru-baru ini membuat film Siti (2015). Film Siti  yang menceritakan kehidupan masyarakat (perempuan) pesisir pantai Parangtritis di Yogyakarta. Meskipun kurang mendapat respon yang baik di Indonesia Daun Diatas Bantal dan Siti justru mendapat penghargaan dan apresiasi di luar negri. 

         Film pendek ini berdurasi sekitar 18 menit, menceritakan tentang kisah dua orang pengemis yang mengais rejeki di kereta api, yaitu Mirta seorang laki-laki tua yang buta, dan Tarsa seorang anak laki-laki yang selalu menuntun Mirta ketika mengemis. Sebagai pengemis yang telah berpengalaman, Mirta mengerti bahwa orang yang suka memberi sedekah memiliki pandangan mata yang berbeda. Meskipun film ini menggunakan pendekatan neorealisme Italia, film ini bukan lantas bisa dikatakan sebagai film neorealisme, hal ini karena film ini tidak diciptakan pada masa-masa kemunculan neorealisme di Italia, bahkan tidak semua ciri khas film neorealisme dapat diaplikasikan.
beberapa ciri film Neorealisme yang nampak pada film Menunggu Gerbong Kelas 3 yaitu, 
1. Tema
Tema film neorealisme umumnya mengangkat tema (sosial) kemiskinan dan ketidakadilan. Pada Film Menunggu Gerbong Kelas Tiga Tema yang diangkat juga merupakan Kemiskinan, ketidakadilan hal tersebut tercermin dari cerita yang diangkat, yaitu dua orang pengemis Mirta dan Tarsa yang hidup dari mengemis di staiun dan dikereta api.
2. Penokohan
Karakter dan tokoh film neorealisme biasanya berasal dari kalangan bawah, pada film Menunggu Gerbong Kelas Tiga  tokohnya sangat jelas dari kalangan bawah, pengemis kereta api, yang menggelandang, hidupnya tergantung dari belas kasihan orang.
3. Pemain (aktor/aktris)
Penggunaan pemain pada film neorealisme mengunakan aktor/artis non Profesional seperti halnya film-film lain yang memperhitungkan pemain (aktor/aktris) sebagai daya pikat film tersebut. Penggunaaan pemain aktor/aktris  non Profesional bahkan pelaku cerita yang mengalaminya langsung mampu memperbesar efek realisme serta orisinalitas tiap adegannya. Pada film Menunggu Gerbong Kelas Tiga  juga tidak  mengunakan aktor/aktris non professional, sayangnya sampai batas waktu yang ditentukan sutradara dan tim tidak bisa mendapatkan pemain yang benar-benar merupakan pelaku (pengemis). Hal ini disiati dengan cara melakukan pendalaman peran dengan melakukan aktifitas mengemis sebelum Shoting dilakukan. Penerjunan pemain langsung ke lokasi dan mencoba menjadi pelaku dirasa menjadi lebih efektif, dalam rangka pendalaman peran tokoh-tokohnya.


4. Seting dan Dubbing
Secara estetik film-film neorealisme memiliki ciri-ciri unik yakni melakukan syuting di lokasi sesungguhnya seperti di jalanan kota atau desa, pemukiman, pasar serta ruang-ruang publik lainnya. Film Menunggu Gerbong Kelas Tiga   ini juga  mengambil seting/lokasi di Kereta,  Stasiun dan sekitar stasiun kereta yang merupakan lokasi sesungguhnya.
 Stasiun yang merupakan fasilitas umum, membuat pergerakan dalam pengambilan gambar/shoting menjadi terbatas. Tidak mungkin menyewa stasiun dan kereta api bahkan mengkondisikannya sesuai arahan sutradara. Inilah kelebihan neorealisme. Hal ini menjadi tantangan sendiri dalam pencapaian artistik, diperlukan kepekaan dalam melihat moment, berbaur dengan masyarakat dan lingkungan ketika mengintruksikan pemaian.
Kroditnya lokasi yang dipilih membuat penggambaran semakin real. Teknik Dubing yang juga menjadi ciri film neorealisme menjadi solusi. Pergerakan pemain dan kamera menjadi lebih leluasa. Sayangnya teknik dubbing ini tidak bisa dilakukan karena waktu dan pembiayaan yang sangat terbatas. Solusi yang dilakukan yaitu meminimalisir noise audio pada proses editing. Hasilnya cukup teratasi, meskipun pada beberapa bagian  tidak dipungkiri masih ada noise suara yang terdengar.


5. Jalan Cerita
Tragedi selalu menjadi menu utama dalam film-film neorealisme. Umumnya film neorealisme memiliki akhir menggantung, tragis, penuh penyesalan dan ketidakbahagiaan. Hal ini sengaja dibuat untuk memperlihatkan realitas yang terjadi dimasyarakat. Pada film Menunggu Gerbong Kelas Tiga adegan akhir dibuat menggantung, tidak dijelaskan bagaimana kejadian yang akan dialami Mirta ketika mengemis pada kereta kelas utama, meskipun penonton mungkin sudah bisa menebak. Tarsa yang tergeletak tidak berdaya tidak dijelaskan apakah sedang sekarat, meninggal atau cuma tertidur, meskipun setelah itu diperlihatkan gambar-gambar  yang menjelaskan Mirta pergi dengan kereta kelas tiga  dengan mata yang tidak buta, dan dimunculkan pula memori-memori ketika Mirta dan Tarsa bersama.
6. Konsep  dan teknis Penyutradaraan
Secara umum film-film neorealisme bentuknya sangat sederhana dan jarang sekali menggunakan efek kamera, pengambilan gambarnya  menggunakan teknik long take (no cutting) dimana tidak ada jeda pada beberapa shot bahkan scene, meskipun terkesan lambat teknik ini memberikan kesan natural. Dengan teknik long take ini dibutuhkan konsep bloking, sinematografi dan keaktoran yang kuat. Pada film Menunggu Gerbong Kelas Tiga tidak dimunculkan efek –efek kamera, pada beberapa scene digunakan pula teknik long take misalanya pada scene yang menceritakan Mirta menarik-narik tangan Tarsa supaya mau membelikan Lopis, juga pada adegan Tarsa kepanasan karena dijemur Mirta.
Kesimpulan 
Adapatasi merupakan sebuah langkah yang bisa dikatakan mudah, akan tetapi bisa juga sebaliknya. Hal ini disebabkan karena proses adapatasi haruslah memiliki nilai yang lebih dari sumbernya. Adaptasi bukan hanya soal pemotongan, penggabungan, dan penciptaan atau bagaimana mempertahankan sebanyak mungkin kemiripan dengan cerita asli, melainkan bagaimana membuat pilihan terbaik  dari materi yang ada sehingga dihasilkan skenario yang baik.
Komunikasi dengan penulis cerpen untuk memohon ijin ataupun mengkorfirmasi bahwa karya mereka akan diadaptasi menjadi obyek penciptaan film adalah cara yang santun, Pada akhirnya hasil Film ini diwujudkan sebagai salah satu upaya untuk mencari alternative dalam mencari ide dalam penciptaan sebuah film. 

(Sumber : Cuplikan  Laporan Penelitian Philipus Nugroho Hari Wibowo berjudul -Cerpen Mata Yang Enak Dipandang Karya Ahmad Tohari Sebagai Inspirasi Penciptaan Film Pendekatan Semangat Neorealisme Italia- 2016)


Daftar  Pustaka

Ahmad Tohari, Kumpulan cerpen Nyayian Malam, Jakarta : Grasindo :2000
Ayawalia, Gerzon, Dokumenter dari Ide sampai Produksi,Jakarta : FFTJ – IKJ PRESS,2008
Badan Pengembangan SDM Citra, Kamus Kecil Istilah Film : JakartaYayasan Pusat Perfilman Perfilam Usmar Ismail 2005
David Howard and Edward Mabley, The Tools Of  Screenwritung: A Writer’sGuide To The Craft and Elements of  
         a Screenplay,New York : St. Martin’s Press, 1995
Eneste, Pamusuk, Novel dan Film. Ende : Nusa Indah, 1991
James Monaco (terjemahan Asrul Sani), Cara Menghayati Sebuah Film, Jakarta : Yayasan Citra : 1984

John Truby, The Anatomy Of Story: 22 Step To Becoming A Master Storyteller, New York : Faber and Faber, Inc, 2008
Joseph M Boggs, Cara Menilai Sebuah Film(terjemahan Asrul Sani), Jakarta: Yayasan Citra : 1992
Jule Selbo, Gardner’s Guide to Screenplay  From Idea to Successful Script: The Eleven step Story Structure,WashingtonDC: 
           Gart Gardner  Company, 2007

Krevolin Richars, Rahasia Sukses Skenario Film- Film Box Offiice, 5 Langkah Jitu Mengadaptasi Apapun Menjadi Skenario
           Jempolan, Bandung : Mizan Media Utama, 2003
Prastista,  Himawan, Memahami Film, Yogyakarta, Homerian Pustaka, 2008
Seno Gumiro Aji Darma, Layar Kata:Menengok 20 Skenario Indonesia Pemenang Citra Festival Film Indonesia 1973-1992 
         Yogyakarta : Yayasan Bentang Budaya, 2000

Wibowo, Philipus Nugroho, 2012, Thesis Ande- Ande Lumut Adaptasi Folklore Kepertunjukan Teater Epik, Yogyakarta
          Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar