Cari Blog Ini
Senin, 25 Februari 2019
Film Bunga Pantai Karya Philipus Maliobowo - Sebuah Film Eksperiment - mengaplikasikan Konsep teater Epik Brecht pada Film
Film Bunga Pantai
Film Bunga Pantai merupakan Film Eksperiment yang bertemakan tentang HIV-AIDS.
Tema tentang HIV ternyata akan selalu menarik mengingat sampai saat ini belum ada seorangpun yang bisa menemukan obatnya, bahkan pertumbuhan penderita HIV-AIDS semakin hari menunjukkan grafik peningkatan yang sangat signifikan.
Film ini dibuat oleh Philipus Maliobowo (Philipus Nugroho Hari Wibowo) pada tahun 2011. FIlm ini mengambil sudut kehidupan pelacur di kompleks pelacuran pantai Paramgkusumo.
Pantai Parangkusumo menjadi tempat yang fenomenal, dimana Ritual dan Prostitusi berjalan saling berdampingan, seperti halnya tempat-tempat ritual yang lain seperti halnya Bukit Kemukus.
Film ini menceritakan tentang kehidupan seorang Gadis Kecil di Kompleks pelacuran Parangkusumo. Sejak kecil ia diasuh oleh seorang perempuan Berhati Samudra. Perempuan Berhati Samudra tidak ingin Gadis kecil hidup seperti dirinya, menjadi seorang Pelacur.
Sebelum memilih untuk mengakhiri hidupnya, Perempuan Berhati Samudra berpesan pada Gadis Kecil untuk menjadi perempuan yang baik.
Penggarapan Film Bunga Pantai ini mengunakan konsep pemangungan Teater Epik Brecht dan terinspirasi dari Film Dogville karya Lars Von Trier
Film Eksperiment ini bisa menjadi wacana yang menarik untuk Filmmaker ataupun penikmat Film di Indonesia
Film Bunga Pantai dapat di akses melalui :
Film Bunga Pantai
Artikel Sejenis sebagai referensi berjudul Konsep Teater Epik Brecht dalam Film Dogvile dapat diakses di :
Konsep Teater Epik Brecht dalam Film Dogville
Rabu, 20 Februari 2019
Gelembung- Gelembung Doa- Skenario Film Pendek karya Philipus Maliobowo
Film Pendek
“gelembung- gelembung doa”
Skenario oleh : Philipus Maliobowo
Sinopsis
ELANG seorang pengemis kere yang Buta.
Satu- satunya keinginan terbesarnya sebelum mati adalah bisa melihat
indahnya dunia.
Ia
rela melakukan apapun, meskipun itu hal yang sangat tidak mungkin sekalipun,
yaitu menabung dari hasilnya mengemis, untuk mengobati matanya.
WENING sahabat sehidup semati Elang sempat
menanyakan biaya operasi disebuah rumah sakit mata. Butuh biaya paling sedikit
50 juta. Jika dihitung secara matematis,
jika satu hari Elang bisa menabung 5000 saja dari hasilnya mengemis, maka ia
membutuhkan waktu 10.000 hari untuk mengupulkan uang 50 juta.
Jika
1 tahun sama dengan 360 hari, Maka butuh waktu 27,7 tahun untuk mengumpulkan
uang sebanyak 50 Juta.
Hmm..
waktu yang sangat panjang..
Wening
sudah bosan menasehati Elang untuk tidak terlalu banyak berharap. Bukankah kita
harus mensyukuri apapun yang kita miliki. Meskipun kita cuma kere yang
terlunta- lunta.
Meski
mata Elang buta, tapi hati nya tidak buta.
Elang
sering membantu orang lain. Ia rela menyisihkan uang tabungannya untuk
keperluan orang lain yang lebih mendesak, meskipun konsekwensinya jangka waktu
dirinya menabung maki lama, tapi ia ikhlas menjalani semuanya.
Beberapa
hari ini Wening sering menceritakan tentang indahnya Jogja dimalam hari jika
dilihat dari atas Taman sari dekat tempatnya sering mengemis. Bintang- bintang
yang bertaburan juga lampu- lampu merkuri yang menghiasi jalan- jalan kota
Jogja.
Hal
ini yang membuat Elang kemudian semakin semangat, ia ingin sekali melihat apa
yang diceritakan Wening padanya.
Sekarang
Elang lebih menghemat uangnya lagi, seminggu ini ia bahkan hanya makan satu
kali sehari, dengan harapan bisa menyisahakan uang lebih banyak untuk menabung.
Makin
lama badan Elang makin lemas, karena tak terisi makanan.
Elang
siap menjemput ajal, Elang meregang nyawa, lewat gelembung- gelembung doa
orang- orang yang pernah ditolongnya, Tuhan menjawab keinginannya.
Elang
bisa melihat indahnya Jogja dimalam hari. Ia kemudian mati dengan tersenyum
bahagia.
FADE IN
01.
EXT.PLENGKUNG
GADING – SIANG
Lampu hijau traficlight Plengkung Gading berganti
menjadi warna merah. Kendaraan kemudian berhenti.
Terlihat orang- orang yang menunggu
dikendaraan masing- masing, baik roda empat, dua juga tiga. Sesekali mereka
melihat kearah traficlight, menunggu kalau- kalau lampu telah hijau.
Lampu berganti hijau kendaraan mulai
bergerak.
Lampu kembali merah lagi. Kendaraan berhenti.
Kemudian lampu berganti terus- menerus hingga
hari berlalu berganti malam
02.
EXT.PLENGKUNG
GADING – MALAM
Traficlight tetap ditempatnya semula,
perlahan- lahan pandangan melebar, terlihat hari sudah malam.
Diatas Plengkung Gading terlihat Elang dan Wening
sedang memandangi sekitar.
Terlihat pemandangan yang eksotis dari tempat
mereka berdiri, lampu- lampu merkuri, bintang yang gemerlapan, alun- alun
diwaktu malam juga keindahan eksotis lainnya.
Senyum Elang mengembang. Ia nikmati betul apa
yang dilihatnya, ia hirup udara malam yang segar. Sesekali rambutnya tergerai
angin
ELANG :
Sekarang aku bisa merasakan keindahan yang
sering kau ucapakan. Ya aku melihatnya…
Wening diam seribu bahasa, seolah ia tak
merasakan kehadiran Elang disana.
Elang Bergegas turun.
ELANG
:
Besok pagi aku mesti dapat uang lebih banyak.
Elang bergegas turun, ia berjalan menuruni
tangga. Sampai dibawah, ia hentikan langkahnya, lalu lemparkan senyum sebentar pada
Wening, kini terlihat Wening yang masih berdiri diatas Plengkung Gading.
Elang meneruskan langkahnya melintasi kendaraan-
kendaraan yang lalu lalang. kemudian pandangan berganti mengikuti sebuah kendaraan
yang baru saja berpapasan dengan Elang. Pandangan lebar kembali, kini terlihat Wening
sudah membalikkan badannya duduk diatas Plengkung Gading.
Terlihat ia menangis. Perlahan lahan ia duduk
bersimpuh, dari wajahnya terpancar perasaan yang terpendam begitu dalam.
Tangisnya bahkan hampir tak terdengar hanya air mata yang berlinang menetes di
sela-sela pipi yang dekil.
Didekat kakinya Nampak sebuah kaki, hanya
terlihat sepintas saja dan tidak mencuri focus.
DISSOLVE TO
03.
EXT.PLENGKUNG
GADING – SIANG
Posisi duduk Wening masih sama dengan scene sebelumnya.
Hanya kakinya disebelahnya saja yang tak nampak.
Wajahnya kini tersenyum sinis, badannya
bersender santai pada dinding tembok Plengkung gading.
WENING :
Sampai kapan kamu
mau nyelengi
seket yuta itu
banyak lho
Sambil memasukkan uang recehan ke dalam toples
Elang berucap ringan tanpa beban, seperti ia sudah sering sekali mengucapkan
kata- kata itu.
ELANG :
kemarin sudah kamu hitung sendiri to, skeet
Yuta diporo limang ngewu.. 10 ewu dina
ELANG dan WENING :
Kalau 1 tahun ada 360 hari, 10000 hari dibagi
360 hari. Jadi 27,7 tahun…
Elang memasukkan recehan terakhir kedalam
toples yang sudah seperempat penuhnya.
ELANG :
27,7 tahun lagi.
Pokoke, aku wes
mantep..
Wening menggeleng- gelengkan kepalanya.
Kemudian tertawa sendiri, menertawai sikap Elang.
Perlahan- lahan Wening berdiri, dibelakang
badannya terlihat keramaian Plengkung gading, dengan kendaraan yang lalu –lalang.
Terlihat Elang sudah ada disana, mengemis.
Kini pandangan berpindah pada Elang yang
sedang mengemis.
Tak lama kemudian Wening muncul mendekati
dirinya. Menemaninya mengemis.
(atau Wening menunduk, pandangan fokus pada Elang
yang sedang mengemis, tak lama muncul Wening kembali, kamera mengikuti
pergerakan Wening yang berlari menuju Elang.
DISSOLVE TO
04.
EXT.PLENGKUNG
GADING – TROTOAR PENJUAL BAJU BEKLAS – SIANG
Para penjual barang- barang bekas nampak ramai
dengan pengunjungnya. Disalah satu sudut terlihat Elang memberikan sebotol uang
recehannya yang belum penuh pada seorang penjual baju bekas yang sudah renta.
Ibu penjual baju bekas tersenyum haru.
Wening menuntun Tubi meninggal kan ibu penjual.
WENING :
Matamu
piye..
ELANG :
Saiki, Mbokde Wiji
luwih mbutuhke tinimbang aku..
WENING :
Njur matamu..??
Operasi..??
Lang… Elang…
Wening mengejar Elang yang berjalan
meninggalkan dirinya yang masih terbengong.
CUT
TO
05.
MONTAGE
Pada scene ini menceritakan transisi Elang dengan
aktivitas kesehariannya, mengemis, menabung, dan seseklai memberikan uang
tabungannya kepada orang yang lebih membutuhkan.
Kemudian menabung, mengemis dan kembali
kerutinitas nya sehari- hari. Stok shot dirangkai dengan cutting yang dinamis (Montage)sesuai alur yang dramatis.
STOK
SHOT :
-
Elang mengemis
( minim 10 stok - variatif)
-
Elang dan
Wening mengemis ( minim 10 stok - variatif)
-
Elang
memberika uang pada orang lain( minim 10 stok variatif )
-
Elang
sedang nyelengi, juga celengannya (minim 10 stok
variatif)
-
Kaki-
kaki yang menyeberang Zebra Crozz ( minim 10 stok
variatif)
Jika dimungkinkan gambar terakhir
memperlihatkan Elang, saat ia memasukkan uang lagi alias nyelengi.
CUT
TO
06.
EXT.PLENGKUNG
GADING ATAS – SIANG
Terlihat Elang memasukkan uangnya pada toples.
Wajahnya nampak
Pucat.
WENING :
Wes rong dino iki kowe nyelengi luwih akeh
ketimbang biasane.
Kamu pasti cuma
makan sekali ya…
ELANG :
Aku pengen cepat- cepat iso ndelok lampu-
lampu merkuri, pemandangan jogja wayah wengi sing koyo mbok ceritake kae lho..
WENING
:
Elang, usaha kui oleh wae, nangin awake dhewe
yo kudhu bersyukur. Terima wae nasib awake dhewe, awkake dhewe iki gur kere sing
urip seko ngemis.
ELang terbatuk kini wajahnya yang kuyu dan
pucat makin jelas terlihat.
ELANG :
Tapi kamu tidak
buta kan..
Elang menggigil kedinginan, badannya meringkuk
CUT
TO
07.
MONTAGE
Pada scene ini menjelaskan tentang Elang yang
bekerja makin keras dan makan hanya sekali supaya uang yang ditabungnya lebih
banyak.
Stok shot dirangkai dengan cutting yang
dinamis.
STOK
SHOT
-
Pagi
hari Wening makan.
-
Elang hanya
duduk didekatnya, sambil meneguk air putih
-
Wening
dan Elang Ngemis, Elang sudah terlihat lemas (minim 10 stok, variatif)
diperlihatkan makin lama Elang makin sempoyongan
-
Siang
hari Wening makan
-
Elang
tak makan, Wening menawari makan. Elang tak mau..
WENING :
Kamu
tidak bisa terus- terusan begini, kamu mesti makan
Elang menggeleng.
WENING :
Yen kowe terus- terusan koyo ngene, iso loro. Bisa- bisa kowe ra biso wujudke kekarepanmu.
Trus piye le mu nyelengi..
Elang cuek bebek, Wening gemas dengan sikap
ELang, ia segera mengambil uang. Dan beranjak untuk pergi, baru beberapa
langkah, Elang memanggilnya.
ELANG :
Stop..
!! stop..!!
Opo
to untunge kowe ngurusi urusane wong liyo..
WENING
:
Koe
kudhu mangan Lang..
Koe iso.. iso..
ELANG :
Iso opo ?
Aku durung ngeleh,..
WENING
:
Pokoke
kowe kudu mangan..
Aku ra pengen koe..aku ra pengen ono opo- oo
karo koe
Elang :
oo..
aku ngerti saiki, koe sengojo to..
ra
pengen aku iso ndelok meneh..
koe
mesti iri karo aku..
yen
aku iso ndelok..
Belum selesai Elang berbicara, ia sempoyongan
dan Jatuh.
Wening berlari menghampiri.
CUT
TO
08.
EXT.PLENGKUNG
GADING – SIANG
Mereka ngemis lagi.
terlihat tapi tidak mencuri focus, anak kecil
yang sedang meniup busa sabun diatas motor
ELang menjaga jarak dengan Wening..
Wening hanya bisa mengamati dari kejauhan.
Tiba- tiba Tubuh Elang nkin sempoyongan.
Kemudian ia terhuyung- huyung jatuh..
Lampu hijau berganti dari merah
Wening berteriak.. histeris..
DISOLLVE TO
09.
EXT.PLENGKUNG
GADING ATAS – SIANG
Elang tergeletak di jalan
Music syahdu, kematian
Vo : Tuhan aku ingin sekali melihat.
Terlihat busa- busa sabun mendekati Elang,
kemudian meletus satu persatu dan mengeluarkan doa- doa orang yang pernah
ditolong Elang..
suara makin lama makin banyak dan makin
krodit.
DISSOLVE
TO
10.
EXT.PLENGKUNG
GADING ATAS – SIANG
Kembali ke scene yang awal scen 02.
Saat Wening menangis pandangan kemudian bergerak
kekaki. Melebar, kini terlihat kalau kaki itu kaki Elang yang terbujur kaku
didekat Wening.
Kemudian gambar ditutup dengan kamera yang
padat kembali pada wajah Elang dan habis.
FADE OUT
Yogyakarta menjelang 2010
Selasa, 19 Februari 2019
Film Menunggu Gerbong Kelas Tiga - Adaptasi Dari Cerpen Mata yang Enak Dipandang Karya Ahmad Tohari
Menunggu Gerbong Kelas 3
(Sumber : Cuplikan Laporan Penelitian Philipus Nugroho Hari Wibowo berjudul -Cerpen Mata Yang Enak Dipandang Karya Ahmad Tohari Sebagai Inspirasi Penciptaan Film Pendekatan Semangat Neorealisme Italia- 2016)
Daftar Pustaka
Ahmad Tohari, Kumpulan cerpen Nyayian Malam, Jakarta : Grasindo :2000
Ayawalia, Gerzon, Dokumenter dari Ide sampai Produksi,Jakarta : FFTJ – IKJ PRESS,2008
Badan Pengembangan SDM Citra, Kamus Kecil Istilah Film : JakartaYayasan Pusat Perfilman Perfilam Usmar Ismail 2005
David Howard and Edward Mabley, The Tools Of Screenwritung: A Writer’sGuide To The Craft and Elements of
a Screenplay,New York : St. Martin’s Press, 1995
Eneste, Pamusuk, Novel dan Film. Ende : Nusa Indah, 1991
James Monaco (terjemahan Asrul Sani), Cara Menghayati Sebuah Film, Jakarta : Yayasan Citra : 1984
John Truby, The Anatomy Of Story: 22 Step To Becoming A Master Storyteller, New York : Faber and Faber, Inc, 2008
Joseph M Boggs, Cara Menilai Sebuah Film(terjemahan Asrul Sani), Jakarta: Yayasan Citra : 1992
Jule Selbo, Gardner’s Guide to Screenplay From Idea to Successful Script: The Eleven step Story Structure,WashingtonDC:
Gart Gardner Company, 2007
Krevolin Richars, Rahasia Sukses Skenario Film- Film Box Offiice, 5 Langkah Jitu Mengadaptasi Apapun Menjadi Skenario
Jempolan, Bandung : Mizan Media Utama, 2003
Prastista, Himawan, Memahami Film, Yogyakarta, Homerian Pustaka, 2008
Seno Gumiro Aji Darma, Layar Kata:Menengok 20 Skenario Indonesia Pemenang Citra Festival Film Indonesia 1973-1992
Yogyakarta : Yayasan Bentang Budaya, 2000
Wibowo, Philipus Nugroho, 2012, Thesis Ande- Ande Lumut Adaptasi Folklore Kepertunjukan Teater Epik, Yogyakarta
Institut Seni Indonesia Yogyakarta
Film Menunggu Gerbong Kelas Tiga merupakan Film Pendek yang
di adaptasi dari cerpen Ahmad Tohari yang berjudul Mata yang Enak Dipandang.
Film ini disutradarai oleh Philipus Maliobowo, dengan DOP Wisnu Wijaya,
didukung oleh Nurul Hadi Koclok sebagai Kang Mirta dan Megatruh Banyumili
sebagai Tarsa. Film ini diproduksi pada tahun 2010 di Yogyakarta dengan lokasi
Stasiun Lempuyangan dan sekitarnya,
Fenomena mengadaptasi
cerita pendek menjadi film merupakan sebuah langkah alternative yang dilakukan
oleh sineas- sineas Indonesia. Filosofi
Kopi (2015), Rectoverso (2013), 5 cm (2012), Cinta Tapi Beda (2012) merupakan film-film yang menggunakan cerpen
sebagai dasar ceritanya. Meskipun tidak sepopuler novel yang telah memiliki
sejarah panjang dalam hal adaptasi, banyak juga cerpen-cerpen yang ceritanya
menarik dan sangat mungkin untuk difilmkan (filmis).
Adaptasi adalah suatu usaha untuk membuat
sebuah hasil karya baru dari sumber yang lainnya atau dari satu media ke media
yang lain dengan mempertahankan atau melakukan variasi pada lakuan, tokoh serta
gaya dan nada aslinya. Tujuan adaptasi bukanlah untuk mempertahankan sebanyak
mungkin kemiripan dengan cerita aslinya, melainkan untuk membuat pilihan
terbaik dari materi yang ada untuk menghasilkan skenario sebaik mungkin.Inti
dari adaptasi adalah perubahan bentuk, tidak hanya terbatas pada setting, penokohan,
alur tapi bisa apapun. Eneste memberika istilah perubahan bentuk dari
novel ke film dengan istilah Ekranisasi.Ekranisasi adalah pelayar putihan atau
pemindahan/pengangkatan sebuah novel kedalam film (ecran dalam bahasa Perancis berarti layar). Pemindahan novel
kelayar putih mau tidak mau mengakibatkan timbulnya pelbagai perubahan, oleh
Karena itu dapat dikatakan ekranisasi adalah sebuah perubahan.Transformasi merupakan perubahan bentuk, rupa dan sifat suatu karya/benda.
Adaptasi, Ekranisasi dan Transformasi memiliki pengertian yang sama yaitu
perubahan bentuk.
Cerpen Mata Yang Enak Dipandang menarik untuk diwujudkan secara visual (filmis), banyak sekali sudut-sudut
yang artistik dan indah yang bisa dieksplorasi lebih jauh. Tema cerpen ini masih kontekstual. Tema sosial dan cerita pada cerpen ini sangat relevan dengan gerakan (isme) neorealisme
yang muncul dan berkembang di Italia pada tahun 1942-1945. Kemunculan gerakan neorealisme di Italia pada masa itu,
memiliki kesamaan dengan kondisi Indonesia pada masa- masa sekarang. Hal itu
terlihat dengan hadirnya karya-karya Film Indonesia yang merepresentasikan kehidupan masyarakat kelas
atas yang serba glamour, mewah, indah dan instan. Padahal realitasnya masih banyak
masyarakat Indonesia yang hidup di garis kemiskinan.
Film-film yang
mengangkat realitas sosial dimasyarakat khususnya masyarakat menengah kebawah
(marjinal) belum banyak dimunculkan di Indonesia. Butuh keberanian dan
pertimbangan yang lebih, karena film-film seperti itu kurang laku dipasaran,
sehingga banyak produser film yang tidak mau membiayai karena lebih
mempertimbangkan faktor industrialisasi yang mementingkan profit /keuntungan.
Mungkin sutradara dan produser yang idealis yang tidak mementingkan hal yang
bersifat industrialisasi yang berani untuk melakukannya. Misalnya Garin Nugroho
(sutradara) yang membuat film Daun diatas
Bantal (1998) yang menceritakan kehidupan anak jalanan di Yogyakarta dan
Ifa Ifansyah (Produser) dan Edy Cahyono (sutradara) yang baru-baru ini membuat
film Siti (2015). Film Siti yang menceritakan kehidupan masyarakat
(perempuan) pesisir pantai Parangtritis di Yogyakarta. Meskipun kurang mendapat
respon yang baik di Indonesia Daun Diatas
Bantal dan Siti justru mendapat
penghargaan dan apresiasi di luar negri.
Film pendek
ini berdurasi sekitar 18 menit, menceritakan
tentang kisah dua orang pengemis yang mengais rejeki di kereta api, yaitu Mirta
seorang laki-laki tua yang buta, dan Tarsa seorang anak laki-laki yang selalu
menuntun Mirta ketika mengemis. Sebagai pengemis yang telah berpengalaman,
Mirta mengerti bahwa orang yang suka memberi sedekah memiliki pandangan mata
yang berbeda. Meskipun film ini menggunakan pendekatan neorealisme
Italia, film ini bukan lantas bisa dikatakan sebagai film neorealisme, hal ini karena film ini tidak diciptakan pada masa-masa kemunculan neorealisme di Italia, bahkan tidak
semua ciri khas film neorealisme
dapat diaplikasikan.
beberapa ciri film Neorealisme yang nampak pada film Menunggu Gerbong Kelas 3 yaitu,
1.
Tema
Tema film neorealisme umumnya mengangkat tema (sosial)
kemiskinan dan ketidakadilan. Pada Film “Menunggu Gerbong Kelas
Tiga”
Tema yang diangkat juga merupakan Kemiskinan, ketidakadilan hal tersebut
tercermin dari cerita yang diangkat, yaitu dua orang pengemis Mirta dan Tarsa
yang hidup dari mengemis di staiun dan dikereta api.
2.
Penokohan
Karakter dan tokoh film
neorealisme biasanya berasal dari
kalangan bawah, pada film “Menunggu Gerbong Kelas Tiga”
tokohnya sangat jelas dari kalangan bawah, pengemis kereta api, yang menggelandang,
hidupnya tergantung dari belas kasihan orang.
3.
Pemain (aktor/aktris)
Penggunaan pemain pada
film neorealisme mengunakan aktor/artis
non Profesional seperti halnya film-film lain yang memperhitungkan pemain
(aktor/aktris) sebagai daya pikat film tersebut. Penggunaaan pemain aktor/aktris
non Profesional bahkan pelaku cerita
yang mengalaminya langsung mampu memperbesar efek realisme serta orisinalitas tiap
adegannya. Pada film “Menunggu Gerbong Kelas Tiga” juga
tidak mengunakan aktor/aktris non
professional, sayangnya sampai batas waktu yang ditentukan sutradara dan tim
tidak bisa mendapatkan pemain yang benar-benar merupakan pelaku (pengemis). Hal
ini disiati dengan cara melakukan pendalaman peran dengan melakukan aktifitas
mengemis sebelum Shoting dilakukan. Penerjunan pemain langsung ke lokasi dan
mencoba menjadi pelaku dirasa menjadi lebih efektif, dalam rangka pendalaman
peran tokoh-tokohnya.
4. Seting dan
Dubbing
Secara estetik
film-film neorealisme memiliki
ciri-ciri unik yakni melakukan syuting di lokasi sesungguhnya seperti di
jalanan kota atau desa, pemukiman, pasar serta ruang-ruang publik lainnya. Film
“Menunggu
Gerbong Kelas Tiga” ini
juga mengambil seting/lokasi di Kereta, Stasiun dan sekitar stasiun kereta yang
merupakan lokasi sesungguhnya.
Stasiun yang merupakan fasilitas umum, membuat
pergerakan dalam pengambilan gambar/shoting menjadi terbatas. Tidak mungkin
menyewa stasiun dan kereta api bahkan mengkondisikannya sesuai arahan
sutradara. Inilah kelebihan neorealisme.
Hal ini menjadi tantangan sendiri dalam pencapaian artistik, diperlukan
kepekaan dalam melihat moment, berbaur dengan masyarakat dan lingkungan ketika
mengintruksikan pemaian.
Kroditnya lokasi yang
dipilih membuat penggambaran semakin real. Teknik Dubing yang juga menjadi ciri
film neorealisme menjadi solusi. Pergerakan
pemain dan kamera menjadi lebih leluasa. Sayangnya teknik dubbing ini tidak
bisa dilakukan karena waktu dan pembiayaan yang sangat terbatas. Solusi yang
dilakukan yaitu meminimalisir noise
audio pada proses editing. Hasilnya cukup teratasi, meskipun pada beberapa
bagian tidak dipungkiri masih ada noise
suara yang terdengar.
5.
Jalan Cerita
Tragedi selalu menjadi
menu utama dalam film-film neorealisme.
Umumnya film neorealisme memiliki
akhir menggantung, tragis, penuh penyesalan dan ketidakbahagiaan. Hal ini
sengaja dibuat untuk memperlihatkan realitas yang terjadi dimasyarakat. Pada
film “Menunggu
Gerbong Kelas Tiga”
adegan
akhir dibuat menggantung, tidak dijelaskan bagaimana kejadian yang akan dialami
Mirta ketika mengemis pada kereta kelas utama, meskipun penonton mungkin sudah
bisa menebak. Tarsa yang tergeletak tidak berdaya tidak dijelaskan apakah
sedang sekarat, meninggal atau cuma tertidur, meskipun setelah itu diperlihatkan
gambar-gambar yang menjelaskan Mirta
pergi dengan kereta kelas tiga dengan
mata yang tidak buta, dan dimunculkan pula memori-memori ketika Mirta dan Tarsa
bersama.
6.
Konsep dan teknis Penyutradaraan
Secara umum film-film neorealisme bentuknya sangat sederhana
dan jarang sekali menggunakan efek kamera, pengambilan gambarnya menggunakan teknik long take (no cutting)
dimana tidak ada jeda pada beberapa shot bahkan scene, meskipun terkesan lambat
teknik ini memberikan kesan natural. Dengan teknik long take ini dibutuhkan konsep bloking, sinematografi dan
keaktoran yang kuat. Pada film “Menunggu Gerbong Kelas Tiga” tidak dimunculkan efek –efek kamera,
pada beberapa scene digunakan pula teknik long
take misalanya pada scene yang menceritakan Mirta menarik-narik tangan
Tarsa supaya mau membelikan Lopis, juga pada adegan Tarsa kepanasan karena
dijemur Mirta.
Kesimpulan
Adapatasi merupakan sebuah langkah yang bisa dikatakan mudah, akan
tetapi bisa juga sebaliknya. Hal ini disebabkan karena proses adapatasi
haruslah memiliki nilai yang lebih dari sumbernya. Adaptasi bukan hanya soal
pemotongan, penggabungan, dan penciptaan atau bagaimana mempertahankan sebanyak
mungkin kemiripan dengan cerita asli, melainkan bagaimana membuat pilihan
terbaik dari materi yang ada sehingga
dihasilkan skenario yang baik.
Komunikasi
dengan penulis cerpen untuk memohon ijin ataupun mengkorfirmasi bahwa karya
mereka akan diadaptasi menjadi obyek penciptaan film adalah cara yang santun, Pada akhirnya hasil Film ini diwujudkan sebagai salah satu upaya
untuk mencari alternative dalam mencari ide dalam penciptaan sebuah film.
Ahmad Tohari, Kumpulan cerpen Nyayian Malam, Jakarta : Grasindo :2000
Ayawalia, Gerzon, Dokumenter dari Ide sampai Produksi,Jakarta : FFTJ – IKJ PRESS,2008
Badan Pengembangan SDM Citra, Kamus Kecil Istilah Film : JakartaYayasan Pusat Perfilman Perfilam Usmar Ismail 2005
David Howard and Edward Mabley, The Tools Of Screenwritung: A Writer’sGuide To The Craft and Elements of
a Screenplay,New York : St. Martin’s Press, 1995
Eneste, Pamusuk, Novel dan Film. Ende : Nusa Indah, 1991
James Monaco (terjemahan Asrul Sani), Cara Menghayati Sebuah Film, Jakarta : Yayasan Citra : 1984
John Truby, The Anatomy Of Story: 22 Step To Becoming A Master Storyteller, New York : Faber and Faber, Inc, 2008
Joseph M Boggs, Cara Menilai Sebuah Film(terjemahan Asrul Sani), Jakarta: Yayasan Citra : 1992
Jule Selbo, Gardner’s Guide to Screenplay From Idea to Successful Script: The Eleven step Story Structure,WashingtonDC:
Gart Gardner Company, 2007
Krevolin Richars, Rahasia Sukses Skenario Film- Film Box Offiice, 5 Langkah Jitu Mengadaptasi Apapun Menjadi Skenario
Jempolan, Bandung : Mizan Media Utama, 2003
Prastista, Himawan, Memahami Film, Yogyakarta, Homerian Pustaka, 2008
Seno Gumiro Aji Darma, Layar Kata:Menengok 20 Skenario Indonesia Pemenang Citra Festival Film Indonesia 1973-1992
Yogyakarta : Yayasan Bentang Budaya, 2000
Wibowo, Philipus Nugroho, 2012, Thesis Ande- Ande Lumut Adaptasi Folklore Kepertunjukan Teater Epik, Yogyakarta
Institut Seni Indonesia Yogyakarta
Langganan:
Postingan (Atom)